Warna-warni Manggarai
“Tabe”...
kata itulah yang pertama kali saya dengar ketika saya berada di tanah rantau. Tabe
yang artinya permisi dalam bahasa Indonesia. Kata ini biasanya juga
diiringi dengan kata nekarabo (jangan marah). Ya di tanah yang belum
pernah saya datangi sebelumnya. Bersama 39 teman lainnya, saya menginjakkan
kaki di kabupaten Manggarai. Kabupaten di sudut timur pulau Indonesia, tepatnya
dikepulauan Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT). Tempat yang tak pernah terbayangkan
sebelumnya. Kabupaten dengan kondisi alamnya yang berbukit-bukit. Dari
pemandangan alam yang terhampar dapat saya rasakan suasana dingin yang menusuk
tulang. Sepanjang jalan di kanan dan kiri badan jalan, tersuguh pemandangan
alam yang luar biasa.
Ruteng
merupakan kota kabupaten, di Manggarai. Kota ini menjadi saksi kedatangan kami
para guru SM3T. Kota pertama yang kami singgahi, dengan suasana dingin menusuk
tulang ketika malam hari. Di kota ini merupakan pusat kegiatan warga Manggarai.
Sampai ada lagu tentang kota ini “Reba Kota Ruteng”. Lagu ini biasa diputar di
bemo maupun oto yang menuju desa. Sedikit berbeda dengan di Jawa, angkutan yang
khas di sini yaitu oto kol. Oto kol merupakan kendaraan berbentuk truk namun
bagian belalkang dumb truck diberi temtap duduk dari kayu dan sandaran.
Kalu kita naik oto ini pasti diiringi dengan lagu-lagu khas Manggarai dan
Ambon. Kendaraan ini memang cocok beroperasi di daerah yang memiliki medan
pegunungan seperti di Manggarai. Cara naik oto ini pun unik. Bagi kami yang
belum pernah sama sekali naik, maka akan bingung bagaimana bisa sampai ke atas
oto. Penumpang oto biasanya naik dari sisi kanan maupun kiri oto, yaitu dengan
memanjat ban oto.
“Tunggu
sedikit Ibu, kami sedang pecah ban”, ujar Odi sopir bemo yang akan mengantar
saya menuju tempat tugas selama satu tahun, yaitu di kecamatan Satarmese
tepatnya di desa Pongkor. Saya bersama dua teman yaitu Resi Mayangsari dan
Alwan Aji mendapat amanah untuk mengajar di SMA Negeri 3 Satarmese. Bersama
bemo Putri Cantik kami yang ditemani oleh SM3T angkatan 2 mulai melangkahkan
menuju Pongkor. Kekaguman selalu terlintas dalam hati. Perjalanan jauh tidak
terasa karena suguhan alam yang begitu mengagumkan. “Inilah Kuasa Allah”,
ujarku dalam hati. Perjalanan sampai di Pongkor memakan waktu dua jam. Bersama
warga Pongkor di dalam bemo menyapa kami dengan
bahasa Manggarai. Sapaan hangat disertai senyum menghiasai perjumpaan
dengan setiap warga. “nekarabo ibu (jangan marah)”, ujar Om Aloy. Dia merupakan
warga Pongkor yang baru pulang dari kota untuk menjual hasil kebun.
Inilah
Pongkor, desa yang sangat damai. Pertama kali kami sampai di Pongkor, kami
menuju rumah Tante Regina, Tante Gin sapaan akrabnya. Kaget, takut, dan
terkejut bercampur jadi satu karena mendengar sapaan khas oleh warga. Sapaan
itu seperti orang yang mau mengajak berkelahi, karena menurut saya sapaan itu
sangat keras. Setelah dijelaskan memang beginilah kalau warga menyambut orang
yang baru datang. Segelas kopi menemani perbincangan kami dengan warga. Ya, kopi
khas Manggarai ini memang memiliki rasa yang berbeda. Karena pengolahannya yang
masih alami. Meteka memetik kopi dari kebun sendiri kemudian menjemur,
menggoreng, menumbuk, sampai akhirnya jadilah kopi yang enak. Kalau biasanya di
rumah saya tidak pernah minum kopi hitam, tapi di Pongkor harus minum kopi
setiap kali bertamu ke rumah warga.
Hari
ketiga di Pongkor, kami diajak ke sekolah dimana kami akan menyalurkan ilmu dan
mengabdikan diri dengan anak-anak didik kami. Sekolah kami memang masih baru.
Ketika saya masuk, baru ada dua angkatan anak didik. Jadi sekolah ini belum
memiliki gedung dan kepala sekolah. Ketika kami masih berada di Dinas PPO,
koordinator SMA lah yang menjemput kami. Maximus Cax, beliaulah koordinator SMA
Negeri 3 Satarmese, yang sekaligus merangkap menjadi kepala sekolah SMP. Kami
memang berbagi gedung dengan SMP. Ketika pagi sampai siang gedung sekolah
digunakan untuk kegiatan belajar mengajar SMP. Namun, ketika anak-anak SMP
pulang sekolah giliran anak SMA yang menggunakan gedung itu untuk menuntut
ilmu. Baru ada tiga rombongan belajar di SMA, satu rombel kelas dua dan dua
rombel yang lain kelas satu. Memang belum banyak siswa yang masuk di SMA,
karena banyak anak yang lulus SMP lebih memilih untuk melanjutkan sekolah di
kota. Jadi butuh perjuangan besar untuk membangun SMA Negeri 3 Satarmese
Pongkor.
Selama
mengajar, kami tinggal di sekolah. Yaitu ruangan yang dulu juga digunakan untuk
tinggal SM3T angkatan dua. Kami menyebutnya rumah dinas. Ruangan ini dulunya
digunakan untuk ruang ganti siswa ketika akan olahraga, namun ruangan ini
berubah fungsi menjadi rumah dinas. Ada dua keluarga lagi yang tinggal di
lingkungan sekolah, yaitu Pak Mus yang merupakan guru SMP dan SMA, kemudian ada
lagi yaitu penjaga sekolah SMP yang rumahnya juga merupakan asrama siswa.
Sekolah ini memang terletak di atas bukit jadi agak jauh dari lingkungan warga.
Bagi siswa yang rumahnya jauh mereka lebih memilih untuk tinggal di asrama. Ada
pula yang tidak mau tinggal di asrama, tetapi mereka harus berjalan kaki menuju
sekolah yang memakan waktu sekitar satu sampai dua jam dengan kecepatan jalan
kaki orang Manggarai tentunya lebih cepat daripada kecepatan jalan kaki orang
Jawa. Terkedang mereka harus menyusuri hutan dan sungai besar untuk mencari
jalan pintas menuju sekolah.
Itulah
salah satu hal yang membuat saya merasa bangga bisa berada di Manggarai. Ya,
semangat anak-anak untuk menuntut ilmu. Jarak jauh tidak menjadi persoalan bagi
mereka. Medan yang berbukit mengharuskan mereka untuk mengkonsumsi makanan yang
banyak. Melihat porsi makan mereka, awalnya saya sangat kaget karena bisa
sampai tiga kali porsi makan saya. Ya itu memang wajar karena pekerjaan mereka
juga berat. Keceriaan dan semangat anak-anak memacu pula semangat saya dalam
mengajar di kelas. Di kelas tidak hanya anak-anak yang belajar, tetapi saya
juga belajar banyak hal dari mereka.
Saya
di sini mendapat tugas untuk membantu guru bahasa Indonesia mengajar kelas X.
Kelas X terdiri atas dua kelas. Masing-masing kelas memiliki jumlah siswa yang
berbeda. Ada yang dua puluh dan delapan belas. Yang dibagi menjadi kelas A dan
B. Begitu banyak anak dengan berbagai kemampuan, sifat, dan karakter yang
berbeda. Perbedaan inilah yang mengharuskan saya untuk bersabar ketika
menyalurkan ilmu. Rata-rata anak SMA di sini, ketika mereka ditegur karena
kesalahannya mereka akan menjawab dengan banyak alasan. Itulah kenapa guru asli
disini selalu menghukum kesalahan mereka dengan pukulan. Sejak Sekolah Dasar,
anak-anak sudah terbiasa mendapat hukuman fisik. Jadi mereka tidak heran kalau
guru selalu membawa tongkat ajaib untuk memukul ketika akan masuk kelas. Namun,
itulah yang membuat saya terkejut, kalau ada hukuman lain kenapa harus dengan
hukuman fisik untuk sekedar mengingatkan mereka.
Berbicara,
menulis, membaca, dan mendengar. Itulah kagiatan pembelajaran bahasa Indonesia
yang saya laksanakan ketika di dalam kelas. Heran ketika ada anak yang saya
suruh membaca teks cerita namun cara membacanya seperti anak SD. Dengan
tersendat dan pengejaan yang kaku. Itulah PR buat saya bagaimana membuat mereka
bisa membaca dengan lancar. Sering saya menyuruh anak yang membacanya kurang
lancar untuk sering membaca teks, sehingga mereka akan terbiasa. Namun memang
setiap anak memiliki kemampuan yang berbeda. Ada anak yang dengan cepat
menangkap setiap materi yang disampaikan, ada pula yang harus mengulang
beberapa kali sampai akhirnya menjadi paham. Bahkan ada anak yang sudah
memiliki buku pendamping belajar di rumah, tapi tidak pernah digunakan sama
sekali. Menghela napas panjang dan mengelus dada yang bisa saya lakukan ketika
memberi tugas rumah dan pada saat pertemuan selanjutnya akan dibahas, tetapi
buku tugas mereka masih bersih. Buku yang bersih itu bukan karena mereka anak
yang menjaga kebersihan dan rapi, tapi karena meraka tidak mengerjakan tugas di
rumah. Jadi harus mengulang dua kali ketika sampai di kelas. Inilah yang
membuang waktu untuk sekedar menyelesaikan materi pelajaran. Tapi inilah
anak-anakku, dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Pada
hari itu saya masih ingat betul karena bertepatan dengan hari sumpah pemuda dan
peringatan bulan bahasa. Hari itu saya mengadakan lomba mading antarkelas.
Betapa senangnya saya melihat anak-anak yang sangat antusias dengan tugas ini.
Mereka aktif dalam menghias mading dan membuat isi madingnya. Memang saya
menyuruh mereka untuk memanfaatkan barang bekas seperti kardus dan bungkus
makanan ringan yang sudah tidak terpakai. Hari itu kegiatan lomba mading
berlangsung dan pemaparan masing-masing kelas tentang mading yang mereka buat.
Sebagai penambah semangat mereka saya memberi bingkisan kecil bagi setiap
kelas. Hal ini bertujuan untuk menambah semangat belajar mereka. Melihat daftar
hadir mereka ada rasa teriris dihati ketika melihat banyak huruf A yang
menandakan mereka jarang masuk sekolah. Ketika ditanya mengapa tidak masuk
sekolah, maka jawaban mereka sangat panjang dengan banyak alasan. Itulah bentuk
kenakalan mereka yang dikatakan anak-anak sudah tidak termasuk, namun dikatakan dewasa juga belum. Masa-masa
usia transisi seperti mereka memang banyak hal yang mereka ingin tahu dan
mereka lakukan tanpa berpikir apakah perbuatan mereka itu benar atau salah.
Sebagai
orang baru, kami tentu tidak banyak mengetahui banyak tempat disini. Pernah
suatu ketika kami kehabisan beras untuk makan, maka kami bertanya kepada salah
satu murid yang kebetulan keluarganya biasa menjual beras. Kami bertiga menuju
rumah siswa tersebut dengan berjalan kaki selama 45 menit dengan jalan yang
berliku dan rusak. Dengan berjalan kaki ini, kami bisa merasakan susah dan
capeknya mereka ketika berangkat sekolah. Bagi mereka yang sudah terbiasa
berjalan kaki jarak itu hanya mereka tempuh selama 20 menit.
Setengah
tahun berlalu, saatnya evaluasi dan monitoring dari pihak kampus. Waktu itu
bertepatan dengan bulan Januari dan masih musim penghujan. Mengingat topografi
Manggarai yang berbukit maka banyak titik yang terkena longsor. Kebetulan
monitoring ini di kecamatan Cibal Barat, medan yang sangat sulit mengakibatkan
motor tumbang karena jalan licin dan berbatu. Begitu juga mobil yang ditumpangi
oleh dosen harus mengalami pecah ban. Di sini saya lebih bersyukur, karena
daerah penempatan saya tidak separah dengan keadaan di daerah monitoring. Di
sana masih menggunakan genset untuk penerangan, sumber air yang jauh dari
rumah, dan jaringan seluler yang kadang muncul dan kadang hilang menjadikan
kita lebih bersyukur ketika nanti pulang ke kembali ke kampung halaman di Jawa.
Keadaan inilah yang membuat kita belajar prihatin tentang kehidupan dan
bagaimana kita menyikapi setiap persoalan dalam kehidupan.
Suatu
hari kami diundang ke acara pesta di tempat warga. Sebagai bentuk penghargaan
kami pun menhadiri undangan tersebut. Pesta sekolah merupakan pesta pengumpulan
dana yang diadakan oleh keluarga yang mempunyai anak sudah lulus SMA sebagai
bentuk partisipasi warga sekitar untuk membantu dana sekolah melanjutkan ke
perguruan tinggi. Bagus memang tradisi seperti ini, sehingga akan lebih
merekatkan silaturahmi dan kekeluargaan antar warga. Namun, ada hal yang kurang
berkenan dihati saya dalam acara ini. Ada tradisi minum sopi dan membaca koran
itulah istilah yang mereka sebut. Sopi merupakan minuman khas Manggarai yang
dibuat dari fermentasi aren. Minuman ini bisa membuat mabuk kalau dikonsumsi
terlalu banyak. Membaca koran yaitu bermain kartu dengan mempertaruhkan uang
dalam permainan. Banyak adat dan tradisi yang ada di sini, yang kadang bisa
kita terima dan kadang bertentangan dengan kita. namun di luar itu kita wajib
menghormati dan menghargai apalagi saya sebagai pendatang. Namun, disamping itu
rasa kekeluargaan yang nyata saya temukan pula di sini. Walaupun kami sebagai
warga baru, namun mereka sudah
menganggap kita sebagai saudara. Inilah Manggarai dengan segala warna yang
melingkupi. Suka duka selama berada disini menjadikan kita lebih
bijaksana.
Selama satu tahun di Manggarai tentunya tidak
hanya mengajar yang saya lakukan, ada kalanya berlibur untuk menghilangkan rasa
penat dalam aktivitas sehari-hari. Flores merupakan pulau yang menyuguhkan
banyak sekali keindahan alamnya. Sehingga ada sebutan Flores surganya wisata.
Dari gunung sampai laut di sini sangat menarik. Apalagi di sini terdapat tempat
yang merupakan salah satu dari tujuh keajaiban dunia yatiu pulau komodo. Tentunya
tidak ingin ketinggalan, saya beserta rombongan pun mengunjungi tempat ini.
Pulau yang akan menjadi saksi bahwa saya pernah menginjakkan kaki di tanah
Flores.
Itulah
bagian kesenangan selama berada disini. Disamping kesenangan tentunya diiringi
dengan kesedihan. Momentum yang paling membuat saya menangis yaitu ketika hari
raya idul fitri tiba. Hari dimana saya biasa berkumpul dan silaturahmi dengan
keluarga di rumah, tetapi lebaran kali ini memang benar-benar berbeda karena
hanya bisa silaturahmi melalui telepon genggam. Air mata pun menetes ketika
terdengar takbir dan mendengar suara ibu, bapak, kakak, dan saudara.
Beginilah
rasanya merantau. Apalagi di daerah 3T. Banyak sekali ilmu yang dapat saya bawa
pulang ke tanah Jawa. Sehingga nanti ketika sampai di Jawa, saya harus mampu lebih
bijaksana memaknai kehidupan ini. Sampai akhirnya secercah harapan itu muncul
ketika mendengar berita tentang penarikan SM3T. Rasa kangen berkumpul keluarga
yang membuat saya bersemangat mengisi hari-hari menunggu hari penjenputan itu
tiba. Selamat tinggal Manggarai, namanu akan selalu terkenang di hati dengan
segala warma dalam dirimu.
Pongkor, Agustus 2014
Siti Ruqoyyah