Selasa, 13 Januari 2015

cerpenQ



Warna-warni Manggarai
Tabe”... kata itulah yang pertama kali saya dengar ketika saya berada di tanah rantau. Tabe yang artinya permisi dalam bahasa Indonesia. Kata ini biasanya juga diiringi dengan kata nekarabo (jangan marah). Ya di tanah yang belum pernah saya datangi sebelumnya. Bersama 39 teman lainnya, saya menginjakkan kaki di kabupaten Manggarai. Kabupaten di sudut timur pulau Indonesia, tepatnya dikepulauan Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT). Tempat yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Kabupaten dengan kondisi alamnya yang berbukit-bukit. Dari pemandangan alam yang terhampar dapat saya rasakan suasana dingin yang menusuk tulang. Sepanjang jalan di kanan dan kiri badan jalan, tersuguh pemandangan alam yang luar biasa.
Ruteng merupakan kota kabupaten, di Manggarai. Kota ini menjadi saksi kedatangan kami para guru SM3T. Kota pertama yang kami singgahi, dengan suasana dingin menusuk tulang ketika malam hari. Di kota ini merupakan pusat kegiatan warga Manggarai. Sampai ada lagu tentang kota ini “Reba Kota Ruteng”. Lagu ini biasa diputar di bemo maupun oto yang menuju desa. Sedikit berbeda dengan di Jawa, angkutan yang khas di sini yaitu oto kol. Oto kol merupakan kendaraan berbentuk truk namun bagian belalkang dumb truck diberi temtap duduk dari kayu dan sandaran. Kalu kita naik oto ini pasti diiringi dengan lagu-lagu khas Manggarai dan Ambon. Kendaraan ini memang cocok beroperasi di daerah yang memiliki medan pegunungan seperti di Manggarai. Cara naik oto ini pun unik. Bagi kami yang belum pernah sama sekali naik, maka akan bingung bagaimana bisa sampai ke atas oto. Penumpang oto biasanya naik dari sisi kanan maupun kiri oto, yaitu dengan memanjat  ban oto.
“Tunggu sedikit Ibu, kami sedang pecah ban”, ujar Odi sopir bemo yang akan mengantar saya menuju tempat tugas selama satu tahun, yaitu di kecamatan Satarmese tepatnya di desa Pongkor. Saya bersama dua teman yaitu Resi Mayangsari dan Alwan Aji mendapat amanah untuk mengajar di SMA Negeri 3 Satarmese. Bersama bemo Putri Cantik kami yang ditemani oleh SM3T angkatan 2 mulai melangkahkan menuju Pongkor. Kekaguman selalu terlintas dalam hati. Perjalanan jauh tidak terasa karena suguhan alam yang begitu mengagumkan. “Inilah Kuasa Allah”, ujarku dalam hati. Perjalanan sampai di Pongkor memakan waktu dua jam. Bersama warga Pongkor di dalam bemo menyapa kami dengan  bahasa Manggarai. Sapaan hangat disertai senyum menghiasai perjumpaan dengan setiap warga. “nekarabo ibu (jangan marah)”, ujar Om Aloy. Dia merupakan warga Pongkor yang baru pulang dari kota untuk menjual hasil kebun.
Inilah Pongkor, desa yang sangat damai. Pertama kali kami sampai di Pongkor, kami menuju rumah Tante Regina, Tante Gin sapaan akrabnya. Kaget, takut, dan terkejut bercampur jadi satu karena mendengar sapaan khas oleh warga. Sapaan itu seperti orang yang mau mengajak berkelahi, karena menurut saya sapaan itu sangat keras. Setelah dijelaskan memang beginilah kalau warga menyambut orang yang baru datang. Segelas kopi menemani perbincangan kami dengan warga. Ya, kopi khas Manggarai ini memang memiliki rasa yang berbeda. Karena pengolahannya yang masih alami. Meteka memetik kopi dari kebun sendiri kemudian menjemur, menggoreng, menumbuk, sampai akhirnya jadilah kopi yang enak. Kalau biasanya di rumah saya tidak pernah minum kopi hitam, tapi di Pongkor harus minum kopi setiap kali bertamu ke rumah warga.
Hari ketiga di Pongkor, kami diajak ke sekolah dimana kami akan menyalurkan ilmu dan mengabdikan diri dengan anak-anak didik kami. Sekolah kami memang masih baru. Ketika saya masuk, baru ada dua angkatan anak didik. Jadi sekolah ini belum memiliki gedung dan kepala sekolah. Ketika kami masih berada di Dinas PPO, koordinator SMA lah yang menjemput kami. Maximus Cax, beliaulah koordinator SMA Negeri 3 Satarmese, yang sekaligus merangkap menjadi kepala sekolah SMP. Kami memang berbagi gedung dengan SMP. Ketika pagi sampai siang gedung sekolah digunakan untuk kegiatan belajar mengajar SMP. Namun, ketika anak-anak SMP pulang sekolah giliran anak SMA yang menggunakan gedung itu untuk menuntut ilmu. Baru ada tiga rombongan belajar di SMA, satu rombel kelas dua dan dua rombel yang lain kelas satu. Memang belum banyak siswa yang masuk di SMA, karena banyak anak yang lulus SMP lebih memilih untuk melanjutkan sekolah di kota. Jadi butuh perjuangan besar untuk membangun SMA Negeri 3 Satarmese Pongkor.
Selama mengajar, kami tinggal di sekolah. Yaitu ruangan yang dulu juga digunakan untuk tinggal SM3T angkatan dua. Kami menyebutnya rumah dinas. Ruangan ini dulunya digunakan untuk ruang ganti siswa ketika akan olahraga, namun ruangan ini berubah fungsi menjadi rumah dinas. Ada dua keluarga lagi yang tinggal di lingkungan sekolah, yaitu Pak Mus yang merupakan guru SMP dan SMA, kemudian ada lagi yaitu penjaga sekolah SMP yang rumahnya juga merupakan asrama siswa. Sekolah ini memang terletak di atas bukit jadi agak jauh dari lingkungan warga. Bagi siswa yang rumahnya jauh mereka lebih memilih untuk tinggal di asrama. Ada pula yang tidak mau tinggal di asrama, tetapi mereka harus berjalan kaki menuju sekolah yang memakan waktu sekitar satu sampai dua jam dengan kecepatan jalan kaki orang Manggarai tentunya lebih cepat daripada kecepatan jalan kaki orang Jawa. Terkedang mereka harus menyusuri hutan dan sungai besar untuk mencari jalan pintas menuju sekolah.
Itulah salah satu hal yang membuat saya merasa bangga bisa berada di Manggarai. Ya, semangat anak-anak untuk menuntut ilmu. Jarak jauh tidak menjadi persoalan bagi mereka. Medan yang berbukit mengharuskan mereka untuk mengkonsumsi makanan yang banyak. Melihat porsi makan mereka, awalnya saya sangat kaget karena bisa sampai tiga kali porsi makan saya. Ya itu memang wajar karena pekerjaan mereka juga berat. Keceriaan dan semangat anak-anak memacu pula semangat saya dalam mengajar di kelas. Di kelas tidak hanya anak-anak yang belajar, tetapi saya juga belajar banyak hal dari mereka.
Saya di sini mendapat tugas untuk membantu guru bahasa Indonesia mengajar kelas X. Kelas X terdiri atas dua kelas. Masing-masing kelas memiliki jumlah siswa yang berbeda. Ada yang dua puluh dan delapan belas. Yang dibagi menjadi kelas A dan B. Begitu banyak anak dengan berbagai kemampuan, sifat, dan karakter yang berbeda. Perbedaan inilah yang mengharuskan saya untuk bersabar ketika menyalurkan ilmu. Rata-rata anak SMA di sini, ketika mereka ditegur karena kesalahannya mereka akan menjawab dengan banyak alasan. Itulah kenapa guru asli disini selalu menghukum kesalahan mereka dengan pukulan. Sejak Sekolah Dasar, anak-anak sudah terbiasa mendapat hukuman fisik. Jadi mereka tidak heran kalau guru selalu membawa tongkat ajaib untuk memukul ketika akan masuk kelas. Namun, itulah yang membuat saya terkejut, kalau ada hukuman lain kenapa harus dengan hukuman fisik untuk sekedar mengingatkan mereka.
Berbicara, menulis, membaca, dan mendengar. Itulah kagiatan pembelajaran bahasa Indonesia yang saya laksanakan ketika di dalam kelas. Heran ketika ada anak yang saya suruh membaca teks cerita namun cara membacanya seperti anak SD. Dengan tersendat dan pengejaan yang kaku. Itulah PR buat saya bagaimana membuat mereka bisa membaca dengan lancar. Sering saya menyuruh anak yang membacanya kurang lancar untuk sering membaca teks, sehingga mereka akan terbiasa. Namun memang setiap anak memiliki kemampuan yang berbeda. Ada anak yang dengan cepat menangkap setiap materi yang disampaikan, ada pula yang harus mengulang beberapa kali sampai akhirnya menjadi paham. Bahkan ada anak yang sudah memiliki buku pendamping belajar di rumah, tapi tidak pernah digunakan sama sekali. Menghela napas panjang dan mengelus dada yang bisa saya lakukan ketika memberi tugas rumah dan pada saat pertemuan selanjutnya akan dibahas, tetapi buku tugas mereka masih bersih. Buku yang bersih itu bukan karena mereka anak yang menjaga kebersihan dan rapi, tapi karena meraka tidak mengerjakan tugas di rumah. Jadi harus mengulang dua kali ketika sampai di kelas. Inilah yang membuang waktu untuk sekedar menyelesaikan materi pelajaran. Tapi inilah anak-anakku, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. 
Pada hari itu saya masih ingat betul karena bertepatan dengan hari sumpah pemuda dan peringatan bulan bahasa. Hari itu saya mengadakan lomba mading antarkelas. Betapa senangnya saya melihat anak-anak yang sangat antusias dengan tugas ini. Mereka aktif dalam menghias mading dan membuat isi madingnya. Memang saya menyuruh mereka untuk memanfaatkan barang bekas seperti kardus dan bungkus makanan ringan yang sudah tidak terpakai. Hari itu kegiatan lomba mading berlangsung dan pemaparan masing-masing kelas tentang mading yang mereka buat. Sebagai penambah semangat mereka saya memberi bingkisan kecil bagi setiap kelas. Hal ini bertujuan untuk menambah semangat belajar mereka. Melihat daftar hadir mereka ada rasa teriris dihati ketika melihat banyak huruf A yang menandakan mereka jarang masuk sekolah. Ketika ditanya mengapa tidak masuk sekolah, maka jawaban mereka sangat panjang dengan banyak alasan. Itulah bentuk kenakalan mereka yang dikatakan anak-anak sudah tidak termasuk,  namun dikatakan dewasa juga belum. Masa-masa usia transisi seperti mereka memang banyak hal yang mereka ingin tahu dan mereka lakukan tanpa berpikir apakah perbuatan mereka itu  benar atau salah.
Sebagai orang baru, kami tentu tidak banyak mengetahui banyak tempat disini. Pernah suatu ketika kami kehabisan beras untuk makan, maka kami bertanya kepada salah satu murid yang kebetulan keluarganya biasa menjual beras. Kami bertiga menuju rumah siswa tersebut dengan berjalan kaki selama 45 menit dengan jalan yang berliku dan rusak. Dengan berjalan kaki ini, kami bisa merasakan susah dan capeknya mereka ketika berangkat sekolah. Bagi mereka yang sudah terbiasa berjalan kaki jarak itu hanya mereka tempuh selama 20 menit.
Setengah tahun berlalu, saatnya evaluasi dan monitoring dari pihak kampus. Waktu itu bertepatan dengan bulan Januari dan masih musim penghujan. Mengingat topografi Manggarai yang berbukit maka banyak titik yang terkena longsor. Kebetulan monitoring ini di kecamatan Cibal Barat, medan yang sangat sulit mengakibatkan motor tumbang karena jalan licin dan berbatu. Begitu juga mobil yang ditumpangi oleh dosen harus mengalami pecah ban. Di sini saya lebih bersyukur, karena daerah penempatan saya tidak separah dengan keadaan di daerah monitoring. Di sana masih menggunakan genset untuk penerangan, sumber air yang jauh dari rumah, dan jaringan seluler yang kadang muncul dan kadang hilang menjadikan kita lebih bersyukur ketika nanti pulang ke kembali ke kampung halaman di Jawa. Keadaan inilah yang membuat kita belajar prihatin tentang kehidupan dan bagaimana kita menyikapi setiap persoalan dalam kehidupan.
Suatu hari kami diundang ke acara pesta di tempat warga. Sebagai bentuk penghargaan kami pun menhadiri undangan tersebut. Pesta sekolah merupakan pesta pengumpulan dana yang diadakan oleh keluarga yang mempunyai anak sudah lulus SMA sebagai bentuk partisipasi warga sekitar untuk membantu dana sekolah melanjutkan ke perguruan tinggi. Bagus memang tradisi seperti ini, sehingga akan lebih merekatkan silaturahmi dan kekeluargaan antar warga. Namun, ada hal yang kurang berkenan dihati saya dalam acara ini. Ada tradisi minum sopi dan membaca koran itulah istilah yang mereka sebut. Sopi merupakan minuman khas Manggarai yang dibuat dari fermentasi aren. Minuman ini bisa membuat mabuk kalau dikonsumsi terlalu banyak. Membaca koran yaitu bermain kartu dengan mempertaruhkan uang dalam permainan. Banyak adat dan tradisi yang ada di sini, yang kadang bisa kita terima dan kadang bertentangan dengan kita. namun di luar itu kita wajib menghormati dan menghargai apalagi saya sebagai pendatang. Namun, disamping itu rasa kekeluargaan yang nyata saya temukan pula di sini. Walaupun kami sebagai warga  baru, namun mereka sudah menganggap kita sebagai saudara. Inilah Manggarai dengan segala warna yang melingkupi. Suka duka selama berada disini menjadikan kita lebih bijaksana.           
  Selama satu tahun di Manggarai tentunya tidak hanya mengajar yang saya lakukan, ada kalanya berlibur untuk menghilangkan rasa penat dalam aktivitas sehari-hari. Flores merupakan pulau yang menyuguhkan banyak sekali keindahan alamnya. Sehingga ada sebutan Flores surganya wisata. Dari gunung sampai laut di sini sangat menarik. Apalagi di sini terdapat tempat yang merupakan salah satu dari tujuh keajaiban dunia yatiu pulau komodo. Tentunya tidak ingin ketinggalan, saya beserta rombongan pun mengunjungi tempat ini. Pulau yang akan menjadi saksi bahwa saya pernah menginjakkan kaki di tanah Flores.
Itulah bagian kesenangan selama berada disini. Disamping kesenangan tentunya diiringi dengan kesedihan. Momentum yang paling membuat saya menangis yaitu ketika hari raya idul fitri tiba. Hari dimana saya biasa berkumpul dan silaturahmi dengan keluarga di rumah, tetapi lebaran kali ini memang benar-benar berbeda karena hanya bisa silaturahmi melalui telepon genggam. Air mata pun menetes ketika terdengar takbir dan mendengar suara ibu, bapak, kakak, dan saudara.
Beginilah rasanya merantau. Apalagi di daerah 3T. Banyak sekali ilmu yang dapat saya bawa pulang ke tanah Jawa. Sehingga nanti ketika sampai di Jawa, saya harus mampu lebih bijaksana memaknai kehidupan ini. Sampai akhirnya secercah harapan itu muncul ketika mendengar berita tentang penarikan SM3T. Rasa kangen berkumpul keluarga yang membuat saya bersemangat mengisi hari-hari menunggu hari penjenputan itu tiba. Selamat tinggal Manggarai, namanu akan selalu terkenang di hati dengan segala warma dalam dirimu.
Pongkor, Agustus 2014
Siti Ruqoyyah