Jumat, 23 September 2011

kajian stilistika trilogi novel "ranah tiga warna" karya ahmad fuadi dan pemaknaannya: tinjauan resepsi sastra



A.    Pendahuluan
Karya sastra merupakan karya imajinatif bermediumkan bahasa yang fungsi estetiknya dominan. Sebagai media ekspresi karya sastra, bahasa sastra dimanfaatkan oleh sastrawan guna menciptakan efek makna tertentu guna memperoleh makna estetik. Untuk mencapai efektivitas pengungkapan, bahasa sastra disiasati, dimanipulasi, dieksploitasi, dan diberdayakan seoptimal mungkin sehingga tampil dalam bentuk yang menarik yang berbeda dengan bahasa nonsastra.
Bahasa sastra bukan sekedar referensial, yang mengacu pada sau hal tertentu, dia mempunyai fungsi ekspresif, menunjukkan nada dan sikap pengarangnya. Yang dipentingkan dalam bahasa sastra adalah tanda dan simbolisme kata-kata. Berbagai teknik diciptakan pengarang seperti bahasa figuratif, citraan, alih kode, dan pola suara, untuk menarik perhatian pembaca. Itulah stilistika karya sastra yang berfungsi untuk menarik nilai estetik.
Style, ‘gaya bahasa’ dalam karya sastra merupakan sarana sastra yang turut memberikan kontribusi signifikan dalam memperoleh efek estetik dan penciptaan makna. Style ‘gaya bahasa’ membawa muatan makna tertaentu. Setiap diksi dipakai dalam karya sastra memiliki tautan emotif, moral, dan ideologis disamping maknanya yang netral, Sudjiman (dalam Ali Imron, 2009: 174).
Novel ranah 3 warna  merupakan buku kedua dari trilogi negeri 5 menara yang kehadiranya dapat dikatakan berhasil karena hanya dalam beberapa pekan saja sudah naik cetak tiga kali. Dalam penulisannya, novel ranah 3 warna menggunakan bahasa yang  bervariasi mulai dari bahasa Minang yang merupakan bahasa tempat tinggalnya, bahasa arab karena pengarang lulusan dari pondok gontor dan pernah singgah di Yaman Arab Saudi, bahasa Inggris karena pernah tinggal di Amerika, dan bahasa Prancis karena tinggal di Sant Raymond Kanada.  Pemilihan struktur lahir berupa penyajian bahasa yang bervarisi tersebut  karena dipengaruhi faktor ideologi dan lingkunngan tempat tinggal pengarang yang pernah tinggal di beberapa tempat dengan lingkungan sosal budaya yang berbeda.
Dalam karya sastra, style  dipakai pengarang sebagai sarana retorika dengan mengeksploitasi, memanipulasi, dan memanfaatkan segenap bahasa. Corak sarana retorika tiap karya sastra sesuai dengan gaya bahasa pengarangnya.
Kajian stilistika ranah 3 warna mengungkapkan gagasan pengarang, kondisi sosial budaya, peristiwa, dan suasana tertentu yang terekam dalam keunikan stilistikanya. Hasil kajian ini dapat memberikan informasi ilmiah baru bagi pemerhati linguistik dan pemerhati sastra.
Adapun rumusan masalah dalam kajian ini:
1)      Bagaimana stilistika ranah 3 warna sebagai sarana sastra?
2)      Bagaimana makna stilistika ranah 3 warna di tinjau dari pendekatan resepsi sastra?
Kajian stillistika ini bertujuan untuk:
1)      Mendeskripsikan stilistika ranah 3 warna sebagai sarana sastra.
2)      Mengungkapkan makna stilistika ditinjau dari pendekatan resepsi sastra.

B.     Kajian Teori
1.      Style dan Stilistika
Dalam buku ini, sesuai dengan konteks kajiannya yakni karya sastra yang bermediumkan bahasa, style diartikan sebagai ‘gaya bahasa’. Gaya bahasa adalah cara pemakaian bahasa dalam karangan, atau bagaimana seorang pengarang mengungkapkan sesuatu yang akan dikemukakan (Abrams, 1981: 190-191). Menurut Leech & Short (1984: 10), style menyaran pada cara pemakaian bahasa dalam konteks tertentu, oleh pengarang tertentu, untuk tujuan tertentu. Gaya bahasa bagi Ratna (2007: 232) adalah kesuluruhan cara pemakaian (bahasa) oleh pengarang dalam karyanya. Hakikat ‘style’ adalah teknik pemilihan ungkapan kebahasaan yang dirasa dapat mewakili sesuatu yang dapat diungkapkan.
Chomsky mengungkapkan istilah deep structure (struktur batin) dan surface structure (struktur lahir), yang identik pula dengan isi dalam bentuk dalam gaya bahasa (Fowler, 1977: 6). Struktur lahir adalah performansi kebahasaan dalam wujudnya yang konkret, dan itulah gaya bahasa. Adapun stuktur batin merupakan gagasan yang ingin dikemukakan  oleh pengarang melalui gaya bahasanya itu. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa style ‘gaya bahasa’ adalah cara mengungkapkan gagasan dan perasaan dengan bahasa khas sesuai dengan kreativitas, kepribadian, dan karakter pengarang untuk mencapai efek tertentu, yakni efek estetik atau efek kepuitisan dan efek penciptaan makna. Gaya bahasa dalam karya sastra berhubungan erat dengan ideologi dan latar sosiokultural pengarangnya
Stilistika merupakan ilmu yang mengkaji wujud pemakaian bahasa dalam karya sastra yang meliputi seluruh pemberdayaan potensi bahasa, keunikan dan kekhasan bahasa serta gaya bunyi, pilihan kata, kalimat, wacana. citraan, hingga bahasa figurative. Agar ranah kajian tidak terlalu luas, kajian stilistika lazim dibatasi pada karya sastra tertentu, dengan memperhatikan preferensi penggunaan kata atau struktur bahasa, mengamati antarhubungan pilihan itu untuk mengidentifikasi ciri-ciri stilistika (stylistic features) yang membedakan karya, pengarang, aliran, atau periode tertentu dengan karya, pengarang, aliran, atau periode lainnya.

2.      Teori Resepsi Sastra
Istilah resepsi sastra berasal dari kata rezeptionaesthetic, yang dapat disamakan dengan literary response (penerimaan estetik) sesuai dengan aesthetic of reception (Junus, 1984: 2) dan disebut estetika resepsi oleh Pradopo (2002: 23).
Resepsi sastra berpandangan bahwa pada dasarnya karya sastra adalah polisemi. Tetapi bukan tidak mungkin seorang pembaca dalam suatu waktu tertentu hanya akan melihat satu “arti” saja. Atau mereka hanya memberikan tekanan pada satu “arti” tertentu dan mengabaikan “arti” lainnya. Dengan demikian “arti” dikonkretkan dengan hubungan oleh khalayak, (audience). Sesuai dengan pembawaan karya itu kepada khalayak, sehingga ia mempunyai akibat (wirkung) (Junus, 1984: 2).
Rezeptiongeschichte adalah sebuah pendekatan yang khusus memperhatikan resepsi karya sastra dalam rangka kesusasteraan, dalam keterlibatannya dengan karya lain, berdasarkan horizon harapan pembaca. Singkatnya, perwujudan karya sastra dalam rangka sistemik dan sejarah sastra oleh pembaca tertentu. Dalam teori resepsi sastra, fungsi pembaca demikian penting dalam memberikan tanggapan atau resepsi karya sastra. Horison harapan pembacalah yang akan menentukan bagaimana resepsinya terhadap sebuah karya sastra.

3.      Teori Semiotik
Pendekatan semiotik berpijak pada pandangan bahwa karya sastra sebagai karya seni, merupakan suatu sistem tanda (sign) yang terjalin secara bulat dan utuh. Sebagai sistem tanda ia mengenal dua aspek yakni, penanda (signifiant) dan petanda (signifie). Sebagai penanda, karya sastra hanyalah artefak, penghubung antara pengarang dengan masyarakat pembaca. Di sini karya sastra mencapai realisasi semesta menjadi objek estetik (Mukarovsky, 1976: 3-4).
Ahli semiotik, Sander Peirce memusatkan perhatian pada fungsi tanda-tanda pada umumnya dengan memberikan tempat yang penting pada tanda-tanda linguistik, namun bukanlah tempat yang utama. Yang berlaku pada tanda pada umumnya berlaku pula tanda-tanda linguistik, dan bukan sebaliknya. Peirce (dalam Abrams, 1981: 170) membedakan tiga kelompok tanda. Ketiga tanda itu yakni:
(1)   Ikon (icon) adalah suatu tanda yang menggunakan kesamaan dengan apa yang dimaksudkannya, misalkan kesamaan peta dengan wilayah geografis yang digambarkannya, kesamaan lukisan kuda dengan binatang yang digambarkannya.
(2)   Indeks (index) adalah suatu tanda yang mempunyai kaitan kausal dengan apa yang diwakilinya, misalnya asap merupakan tanda adanya api, mendung merupakan tanda akan datangnya hujan.
(3)   Simbol (symbol) adalah hubungan antara hal/sesuatu (item) penanda dengan item yang ditandainya yang sudah menjadi konvensi masyarakat. Misalnya, lampu merah berarti berhenti, bendera merah (di daerah Solo dan sekitarnya) berarti tanda ada orang meninggal, dan ada jamur kuning merupakan tanda adanya upacara pernikahan sepasang manusia.   

C.    Latar Sosiohistoris Ahmad Fuadi
Ahmad Fuadi,kelahiran Nagari Bayur, sebuah kampung kecil di pinggir Danau Maninjau 30 Desember 1972, adalah seorang novelis, praktisi konservasi, dan wartawan. Ibunya guru SD dan ayahnya guru madrasah. Fuadi merantau ke Jawa, mematuhi permintaan ibunya untuk masuk sekolah agama. Ia masuk di Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo tahun 1988 dan lulus tahun 1992. Di sana dia bertemu dengan kiai dan ustad yang diberkahi keikhlasan mengajarkan ilmu hidup dan ilmu akhirat. Gontor pula yang membukakan hatinya kepada rumus sederhana tapi kuat, ”man jadda wajada”, siapa yang bersungguh ­sungguh akan sukses.
Juga sebuah hukum baru: ilmu dan bahasa asing adalah anak kunci jendela-jendela dunia. Bermodalkan doa dan manjadda wajada, dia mengadu untung di UMPTN. Jendela baru langsung terbuka. Dia diterima di jurusan Hubungan Internasional, Universitas Padjajaran (UNPAD) Bandung dan lulus 1997.
Semasa kuliah, Fuadi pernah mewakili Indonesia ketika mengikuti program Youth Exchange Program di Quebec, Kanada (1995-1996). Di ujung masa kuliah di Bandung, Fuadi mendapat kesempatan kuliah satu semester di National University of Singapore dalam program SIF Fellowship (1997). Lulus kuliah, dia mendengar majalah favoritnya Tempo kembali terbit setelah Soeharto jatuh. Sebuah jendela baru tersibak lagi, Tempo menerimanya sebagai wartawan (1998). Kelas jurnalistik pertamanya dijalani dalam tugas-tugas reportasenya di bawah para wartawan kawakan Indonesia.
Selanjutnya, jendela-jendela dunia lain bagai berlomba-lomba terbuka. Setahun kemudian, dia mendapat beasiswa Fulbright untuk program S-2 di School of Media and Public Affairs, George Washington University (2001). Merantau ke Washington DC bersama Yayi, istrinya—yang juga wartawan Tempo—adalah mimpi masa kecilnya yang menjadi kenyataan. Sambil kuliah, mereka menjadi koresponden TEMPO dan wartawan VOA. Berita bersejarah seperti peristiwa 11 September dilaporkan mereka berdua langsung dari Pentagon, White House dan Capitol Hill.
Tahun 2004, jendela dunia lain terbuka lagi ketika dia mendapatkan beasiswa Chevening untuk belajar di Royal Holloway, University of London untuk bidang film dokumenter. Kini, penyuka fotografi ini menjadi Direktur Komunikasi di sebuah NGO konservasi: The Nature Conservancy (2007-sekarang).Fuadi menguasai bahasa Inggris, Perancis, dan Arab serta pernah menerima penghargaan (award) antara lain: Indonesian Cultural Foundation Inc. Award (2000-2001), Columbus School of Arts and Sciences Award, The Goerge Washington University (2000-2001), dan The Ford Foundation Award (1999-2000).
“Negeri 5 Menara” adalah buku pertamanya dari rencana trilogi. Buku-buku ini berniat merayakan sebuah pengalaman menikmati atmosfir pendidikan yang sangat inspiratif. Diharapkan buku ini bisa membukakan mata, hati serta menebarkan inspirasi ke segala arah. Buku ini dalam waktu 9 bulan sudah terjual 100.000 eksemplar. Ini adalah rekor baru untuk semua buku lokal yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama sepanjang 36 tahun ini. Sebagian royalti buku ini diniatkan untuk merintis Komunitas Menara, sebuah organisasi sosial berbasis relawan (volunteer) yang menyediakan sekolah, perpustakaan, rumah sakit, dan dapur umum secara gratis buat kalangan yang tidak mampu.

D.    Kajian Stilistika Novel Ranah 3 Warna Karya Ahmad Fuadi
Gaya bahasa dalam karya sastra menjadi media bagi sastrawan untuk mengekspresikan gagasannya. Makna karya sastra merupakan formulasi gagasan yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembaca. Mengacu teori semiotik, karya sastra merupakan sistem komunikasi tanda. Oleh karena itu, apapun yang tercantum dalam karya sastra mengandung makna yang implisit.
Dengan memanfaatkan metode pembacaan heuristik (mendeskripsikan stilistika sebagai tanda kebahasaan) dan hermeneutik (membaca berulang-ulang dengan pemaknaan). Hasil pengkajian stilistika cerpen Senyum Karyamin memiliki keunikan dan kekhasan yang terletak pada  penggembaran latar dan seting. Fuadi lebih memanfaatkan gaya metropolis karena Fuadi dengan pengalamannya yang pernah tinggal di beberapa tempat yang metropolis seperti Bandung ketia dia kuliah di UNPAD, Yaman (Arab Saudi) dan Kanada ketika Fuadi menerima beasiswa pertukaran pelajar ke luar negeri.
Kekhasan novel Ranah 3 Warna terlihat pada pemanfaatan gaya kata (diksi) dan bahasa figuratif.
1.      Gaya kata (diksi)
Diksi dalam Ranah 3 Warna diantaranya yaitu kata konotatif yang mendominasi,  kemudian penggunaan kosakata Minang, Arab, Ingrris dan Prancis. Penggunaaan kata konotatif menjadikan novel Ranah 3 Warna dapat ditafsirkan dalam banyak makna. Sebagai sarana ekspresi, setiap diksi dalam novel Ranah 3 Warna memiliki fungsi dalam mendukung gagasan yang akan disampaikan. Khususnya kosakata bahasa Minang, yang mencerminkan kehidupan latar sosial budaya masyarakat Maninjau sesuai tanah kelahirannya.
Berikut ini diksi yang dapat penulis temukan dalam novel Ranah 3 Warna:
1)      Hasilnya, satu bukit buku untuk pelajaran kelas satu, satu bukit untuk kelas dua, dan satu bukit untuk kelas tiga. Tiga bukit buku! Aku meneguk ludah. Aku baru sadar ketiga bukit inilah yang aku daki kalau ingin menaklukkan ujian persamaan SMA dan UMPTN. (hlm 9)
2)       Matanya mematut liar halaman kedua. Tangannya yang mengghunus spidol merah menggantung di awang-awang. Dalaam pikiranku kini, dia telah menjelma menjadi penghunus pedang samurai merahyang siap menikam ganas. Aku makin terbenam di kursi. (hlm. 74).
3)      Aden butuh uang tunai secepatnya…. Pinjaman ke wa’ang sudah banyak… kedua orangtuanya saudagar dan dia tunggak babelang , sebutan untuk anak tunggal. (hlm. 108-109).
4)      Aku meringis memegang lengan bawahku yang lebam merah karena bergesekan dengan pasir kasar. Si hitam juga menderita, kulit bagian depannya coak dan tergores oleh batu cadas yang runtuh tadi. (hlm 250).
Pada data (1), bentuk bukit tiga buku dengan gaya metaforisnya merupakan pelukisan tentang betapa banyaknya buku yang harus dipelajari ketika ia harus dapat lulus dalam ujian persamaan SMA karena Alif yang mempunyai keinginan yang begitu besar untuk dapat mengikuti ujian UMPTN. Dengan ungkapan metaforia yang membandingkan antara tumpukan buku dengan bukit, pembaca akan memperoleh kesan yang lebih dalam sehingga dapat membayangkan lebih jelas bagaimana banyak dan kerasnya usaha Alif untuk dapat lulus dalam ujian persamaan SMA dan UMPTN. Seperti yang kita ketahui bahwa bukit merupakan tempat yang tinggi yang dibandingkan dengan tumpukan buku dapat kita bayangkan berapa banyak buku yang harus dipelajari Alif sampai dia tidak mau keluar kamar.
Pada data (2), bentuk matanya mematut liar halaman kedua dan ‘penghunus pedang samurai merah’ menggambarkan tentang kerasnya ajaran kak Tohar ketika membenarkan tulisan Alif yang baru pertama kali dan mempunyai keinginan agar tulisannya dapat dimuat. Betapa Alif mempunyai niat yang besar untuk mencapai suatu keinginan. Ketika kakak tingkatnya yang juga belajar menulis dengan Togar, tetapi ditengah jalan sudah menyerah. Alif ingin menunjukkan kalau dia bisa.
Data (3) diatas aden, wa’ang,dan tunggak babelang, yang terdapat pada kutipan diatas merupakan bahasa daerah Minang yaitu tempat kelahiran pengarang. Bahasa tersebut dihadirka untuk memperkuat pembaca tentang gambaran orang Minang. Seakan pengarang mengajak pembaca ikut terlibat dalam cerita novel tersebut.
Data (4) ‘Si Hitam juga menderita’ pada kutipan di atas merupakan perumpamaan sepatu hadiah dari ayahnya yang merupakan teman setianya mulai dari Bandung sampai Sant Raymont.  
2.      Bahasa Figuratif
Bahasa figuratif yang unik dan khas Fuadi juga cukup dominan dalam noel Ranah 3 Warna yang meliputi pemajasan. Melalui bahasa figuratif maka stilistika Ranah 3 Warna menjadi lebih hidup dan ekspresif. Majas dalam Ranah 3 Warna yang mendominasi adalah Metafora dan litotes. Pemajasan dimanfaatan untuk member kesan cerita yang hidup dan memperindah cerita.
Contoh penggunaan majas dalam Ranah 3 Warna:
5)      Aku akan mengingat selalu nasehat terakhir ayah, yang jelas kita tidak bisa menonton bola bersama lagi. Kecuali di surga ada sepak bola. Kita juga tidak akan bisa berburu durian bersama lagi, kecuali pohon durian juga tumbuh di surga. (hlm.98).
Data (5) diatas menggambarkan tentang rasa kangennya Alif dengan ayahnya yang baru saja meninggal. Majas metafora terdapat dalam kdata tersebut yang membandingkan antara dunia nyata dengan surga yang diimpikan dapat tumbuh buah durian atau terdapat permainan sepak bola.
6)      Aku terlonjak seperti disengat listrik. Aku ingat sesuatu. Tanganku cepat merogoh kebawah bantal, mencari dompetku. (hlm.132).
7)      Aku pun tahu macam mana mengobati kau. Yok, kita pergi sekarang juga. Ke rumah sakit malas. (hlm.160).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar