Sabtu, 24 September 2011

pengakuan pariyem



A.    JUDUL DAN PENGARANGNYA
Judul         : Pengakuan Pariyem
Pengarang : Linus Suryadi Ag.

B.     SINOPSIS
Pariyem adalah seorang anak yang berasal dari desa Wonosari, Ngayogyakarta. Anak pertama dari tiga bersaudara. Pariyem atau yang sering dipanggil “Iyem” beragama katholik, nama baptisnya adalah Maria Magdalena Pariyem. Iyem tidak mau dipanggil Maria, Magdalena atau Lena, karena ia terbiasa dengan nama panggilan Iyem. Nama baptisnya pun ia gunakan jika ada keperluan yang resmi, misalnya membuat surat dari kelurahan atau KTP di kecamatan. Iyem dulu pernah sekolah di sekolah dasar. Namun sekolahnya tidak tamat. Ia lebih sering membantu orang tuanya yang bertani. Kadang panen mereka tidak berhasil, karena banyak hama yang mengancam.
Memang kini orang tua Iyem adalah petani. Namun, dulu bapak Iyem yang  bernama Karso Suwito adalah seorang pemain kethoprak yang ulung. Dan ibu Iyem yang bernama Parjinah adalah seorang ledhek atau sinden yang sangat terkenal. Bapak dan ibu Iyem sering pentas ke daerah-daerah disekitar Ngayogyakarta. Bapa dan ibu pun bertemu untuk pertama kali pada saat pementasan. Bakap Iyem yang gagah dan tampan serta ibunya yang cantik dan suaranya yang indah sering menjadi bahan pembicaraan orang. Namun, sayang kelompok kethoprak dan ledhek itu sudah tidak aktif lagi semenjak ada pemberontakan G 30-S/PKI. Banyak anggotanya yang mati terbunuh atau dipenjara di luar kota.
Iyem bekerja menjadi pembantu di ndalem Suryomentaraman Ngayogyakarta di rumah ndoro Kanjeng Cokro Sentono. Ndoro Kanjeng Cokro Sentono adalah seorang yang luas wawasannya, wibawa prangnya dan sangat memperhatikan kebudayaan dan sering diminta memberi wejangan dalam acara-acara yang resmi. Ndoro Kanjeng Cokro Sentono istri bernama Ndoro Ayu Cahya Wulaningsih. Ia adalah orang yang sangat memperhatikan penampilannya, yang sering pamer harta dan pakaian dengan ibu-ibu arisan. Anak laki-laki Ndoro Kanjeng Cokro Sentono adalah Den Bagus Ario Atmojo yang gagah, tampan, dan juga berpendidikan. Sedangkan anak perempuannya adalah ndoro Putri Wiwit Setiowati., yang halus perangainya, berwawasan luas dan tidak suka membedakan antara golongan priyayi dan rakyat biasa. Ndoro Putri Wiwit adalah seorang anak yang rajin, tapi apabila dia sekali marah, tidak ada seorangpun yang bisa menhentikannya.
Di rumah Ndoro Kanjeng Cokro Sentono, Iyem melakukan tugasnya sebagai pembantu dengan baik. Ia memulai pekerjaan rumah dari memasak, nyetrika, mencuci, dan bersih-bersih rumah sejak pagi-pagi sekali. Ia telah bagun terlebih dahulu sebelum yang lain bagun, dan semua pekerjaannya rapi. Namun ia mau saja ketika Den Bagus Ario Atmojo mengajaknya melakukan hubungan intim. Hal itu tidak hanya dilakukan selaku atau dua kali, tapi sering. Bahkan Iyem sendiri menggoda Den bagus. Namun Iyem sudah berjanji tidak akan menceritakan kejadian tersebut kepada siapapun juga. Ia sadar diri kalau ia hanyalah seorang pembantu dan tidak akan mencemarkan nama baik keluarga besar Ndoro Kanjeng Cokro Sentono. Iyem hanya menceritakan kepada Paiman, orang yang ia cintai. Iyem sadar apa yang ia lakukan itu bukan kerna paksaan. Dan Iyem pun akhirnya hamil.
Setiap lebaran tiba, semua orang berkumpul di tanah kelahirannya. Begitu juga Iyem dan Kliwon. Semua bersilaturahmi, hala bihalal dan sungkem kepada yang lebih tua untuk meminta maaf. Waktu Iyem bertemu dengan Kliwon yang kini bekerja di Jakarta sebagai penjual bakso dan mie goreng, Kliwon mengungkit-ungkit kejadian yang dulu mereka lakukan. Mereka berdua seperti kesetanan, yang melakukan hubungan suami istri di gubug tengah sawah. Mereka menyebutnya malam pertama. Namun Kliwon yang sekarang tidak seperti yang Iyem kenal dulu. Iyem menganggap Jakarta telah merubahnya, bahasa yang digunakannya pun berubah. Kliwon, dulu orang yang alim, lugu dan tidak neko-neko.
Iyem sangat dekat dengan ndoro Putri Wiwit. Bahkan mereka sering berbelanja di pasar bersama. Iyem lebih senang berbelanja di pasar dengan ndoro Putri Wiwit, karena dia tidak ribet dengan barang yang akan dibeli dibandingkan dengan ndoro Kanjeng Ayu yang sering bingung dengan banyak pilihan. Ndoro Putri Wiwit dan Iyem sering bertukar cerita dan ilmu. Begitu dekatnya mereka, sampai suatu ketika ndoro Wiwit melihat Iyem yang muntah-muntah di pagi hari waktu ndoro Putri Wiwit akan pergi. Namun ia sempat mencarikan Iyem minyak angin dan air putih serta ngeroki Iyem sebelum pergi. Setelah pulang baru ndoro Putri Wiwit menanyakan kepada Iyem, dan Iyem mengaku bahwa ia tengah mengandung anak dari Den Bagus. Walau awalnya Iyem hanya diam, tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa karena kandungannya yang semakin membesar. Ndoro Putri Wiwit akhirnya menceritakan kepada orang tuanya. Pada malam hari semuanya berkumpul untuk mengadili Iyem dan Den Bagus sebagai tertuduh. Ndoro Kanjeng Cokro Sentono sebagai hakim dan jaksa menanyai Iyem dengan hati-hati dan bijaksana. Akhirnya Iyem mengaku dan menceritakan semuanya kepada Ndoro Kanjeng Cokro Sentono dan Kanjeng Ayu. Begitu juga dengan Den Bagus yang mengakuinya. Jalan keluar dari permasalahan mereka agar kedua belah pihak tidak merasa dirugikan dan nama baik keluarga ndoro Kanjeng Cokro Sentono tidak tercemar, Iyem untuk sementara kembali ke kampung halamannya untuk menunggu kelahiran anaknya. Namun semua biaya hidup Iyem ditanggung oleh keluarga ndoro Kanjeng Cokro Sentono. Dan Den Bagus pun sebulan sekali menjenguk Iyem. Namun waktu Iyem melahirkan, Den Bagus tidak bisa menunggui, hanya ndoro Ayu dan ndoro Putri. Anak Iyem lahir dengan selamat dan tanpa mengalami kesulita. Anaknya perempuan dan diberi nama Endang Sri Setianingsih. Semua senang melihat Endang telah lahir dan bergantian untuk menimang dan menggendong Endang dengan nembang untuk Endang. Begitu pula dengan Den Bagus.

C.    GAGASAN
Gagasan yang dapat diambil dari novel Pengakuan Pariyem yaitu nilai-nilai sosial dan budaya. Bahwa sebagai seorang yang hidup ditengah lingkungan masyarakat, haruslah menjaga hubungan baik dengan sekelilingnya. Jika kita telah lama pergi dari tempat tinggal kita dan telah kembali, maka silaturahmi itu perlu untuk menjalin kembali rasa persaudaraan yang telah putus. Saling memaafkan tidak memandang mana yang tua atau yang muda. Tidak perlu ada rasa canggung yang tua untuk meminta maaf kepada yang muda apalagi jika memang bersalah. Kita juga tidak boleh membedakan antara yang kaya dan yang miskin. Karena dihadapan Tuhan, kedudukan kita sama. Dan harta yang kita miliki hanyalah titipan. Jika Tuhan telah berkehendak maka apapun yang akan terjadi, bahkan dapat miskin seketika. Hal itu nampak pada tokoh Iyem yang suka bergaul dengan siapapun. Tradisi yang masih dipertahankan di lingkungan Iyem yaitu setiap setahun sekali silaturahmi dan sungkem ke tempat orang yang lebih tua. Kebudayaan berupa kesenian Jawa juga dipertahankan, yaitu oleh orang tua Iyem yang dulunya berprofesi sebagai pemain kethoprak dan ledhek. Sifat ndoro Putri Wiwit menunjukkan bahwa tidak ada pembedaan kasta dan golongan, tidak membedakan kaya atau miskin. Ndoro Putri Wiwit bergaul denga siapa saja, juga dengan rakyat biasa walaupun dia adalah seorang priyayi. Dia bisa dekat dengan Iyem yang hanya sebagai pembantunya. Ia juga tidak ragu untuk melangkahkan kaki membeli barang di pasar tradisional dan menawar barang sama seperti yang lain. Ada ketergantungan diantara ndoro Putri Wiwit dengan Iyem, disaat yang satu sakit, maka yang lain menjaga.
Pesan moral juga ditunjukkan. Sebagai seorang wanita, kita perlu menjunjung harkat dan martabat kita walaupun hanya sebagai seorang pembantu rumah tangga yang kadang hanya diremehkan dan dianggap sebelah mata. Namun, kita harusnya menjunjung tinggi, wanita yang harusnya dihormati dan dihargai. Tapi sebagai sorang yang terpandang dan terpelajar harusnya lebih tahu sampai dimana batas-batas pergaulan, serta dapat menjaga nama baik keluarga yang cukup dikenal. Orang kaya menganggap semua bisa ditukar dengan uang. Tidak memikirkan bagaimana perasaannya. Hal itu ditunjukkan oleh tokoh Iyem. Sebagai seorang pembantu Iyem mau saja diajak Den Bagus untuk melakukan hubungan suami istri. Iyem memang tidak tamat sekolah, tapi harusnya ia tahu mana yang baik dan mana yang buruk untuk dirinya. Padahal Iyem orang yang beragama dan mengagungkan Tuhannya. Bahkan Iyem pun juga pernah mengenyam pendidikan, Iyem juga tidak memikirkan akibat ke depannya. Den Bagus memang mengakui anak Iyem sebagai anaknya, tapi ia tidak menikahi Iyem secara resmi. Den Bagus hanya menanggung biaya Iyem dan anaknya selama di desa.
Nilai kejujuran, pengabdian, kebijaksanaan, dan saling menghargai juga ditunjukkan dalam novel ini. Sebagai seorang yang bekerja pada orang lain, harusnya konsekuen denga pekerjaan kita. Dan melakukannya dengan sebaik mungkin. Tidak ada dusta dan apa adanya dalam setiap perkataan karena akan memunculkan kepercayaan. Dalam mengambil suatu kebijakan ada kebijaksanaan dalam keputusan, dan tanggung jawab dengan apa yang telah kita lakukan sebagai akibat perbuatan yang kita lakukan. Hal itu ditunjukkan oleh tokoh Iyem yang sebagai pembantu rumah tangga, dia melakukan pekerjaannya dengan baik dan rapi. Iyem menyelesaikannya sebelum yang lain bangun tidur. Pada saat Iyem hamil dan mengandung anak dari Den bagus, Iyem pun harus berani mempertanggung-jawabkan perbuatannya tersebut. Pada saat ndoro Kanjeng Cokro Sentono mengumpulkan semua orang di ruang keluarga, ndoro Kanjeng Cokro Sentono menanyai Iyem berita yang didengarnya dari ndor Putri dengan sangat hati-hati dan begitu bijaksana. Iyem pun mengakui semua perbuatannya, begitu juga dengan Den Bagus. Akhrinya ndoro Kanjeng Cokro Sentono memilih jalan tengah dalam permasalahan ini, karena dia tidak mau nama baik keluarga menjadi tercemar. Karena memang dia adalah orang yang terkenal. Dia menyuruh Iyem untuk sementara kembali ke desa sampai anak yang dikandungnya lahir karena masih keturunan ndoro Kanjeng Cokro Sentono, dan semua biayanya ditanggung oleh keluarga ndoro Kanjeng Cokro Sentono. Walaupun begitu semua keluarga ndoro Kanjeng Cokro Sentono menyayangi anak Iyem.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar